BIN HAKIM: Mistery Angel's Hair, Rambut Misterius Yang Jauth ...: "Di dalam sejarah keanehan dunia, fenomena ini mungkin termasuk yang paling aneh. Sejak ratusan tahun yang lalu, banyak saksi melaporkan ..."
BIN HAKIM: Mistery Angel's Hair, Rambut Misterius Yang Jauth ...
12.22 |
Read User's Comments(0)
Kuda Sandelwood Sumba
15.18 |
Menyebut kata Sumba orang akan membayangkan kuda. Mengapa? Kuda mempunyai ikatan historis dengan orang Sumba. Kuda telah menjadi bagian hidup masyarakat di pulau paling selatan Indonesia itu sejak pertengahan abad ke-18, jauh sebelum Belanda mendatangkan sapi ongole ke pulau itu dan menetapkan Sumba sebagai pusat pembibitan sapi ongole pada tahun 1914.
Dari berbagai jenis kuda di dunia, kuda Arab dapat dianggap sebagai cikal bakal kuda-kuda yang ada di Sumba saat ini. Kuda yang terdapat di Sumba dan wilayah Asia Tenggara pada umumnya termasuk ras timur. Berbeda dengan kuda ras Eropa dan Amerika yang memiliki tengkorak lebih besar.
Dari bentuk wajahnya, kuda ras timur diduga merupakan keturunan kuda Mongol. Kuda ini merupakan keturunan dari jenis Przewalski yang ditemukan tahun 1879 di Asia Tengah. Penyebarannya ke wilayah Asia diperkirakan bersama dengan penyebaran agama Hindu.
Kuda di Indonesia dipengaruhi iklim tropis serta lingkungan. Tinggi badannya berkisar antara 1,15 – 1,35 meter sehingga tergolong dalam jenis poni. Bentuk kepala umumnya besar dengan wajah rata, tegak, sinar mata hidup serta daun telinga kecil. Ciri-ciri lain, bentuk leher tegak dan lebar. Tengkuk umumnya kuat, punggung lurus dan pinggul kuat. Letak ekornya tinggi dan berbentuk lonjong, dada lebar, sedang tulang rusuk berbentuk lengkung serasi.
Kakinya berotot kuat, kening dan persendiannya baik. Sedangkan bentuk kuku kecil dan berada di atas telapak yang kuat. Jika kuda ini berdiri, akan tampak sikapnya yang kurang serasi (kurang baik), karena kedua kaki bagian muka lebih berkembang bila dibandingkan dengan kaki belakang. Sikap berdiri seperti ini terdapat pada berbagai jenis kuda di Asia Tenggara, termasuk di Sumba.
Kapal Portugis yang datang ke wilayah Indonesia bagian timur pada abad ke-16 untuk mencari rempah-rempah, sempat singgah di beberapa pelabuhan antara lain di Sulawesi Utara. Pada saat singgah itulah mereka memperkenalkan jenis kuda yang mereka bawa kepada penduduk setempat. Terjadilah tukar-menukar barang dagangan antara penduduk dan para pedagang Portugis tersebut. Kuda asal Eropa itu kemudian disilangkan dengan kuda lokal. Hasil persilangan ini membuahkan keturunan kuda Eropa di Minahasa.
Selain jenis kuda Arab dan Eropa yang dikenal di Indonsia, masih ada lagi satu jenis kuda yang disebut kuda Mongol, berasal dari daratan Asia. Kuda-kuda ini kemudian disilangkan dengan jenis kuda setempat dan menghasilkan kuda baru, berukuran tinggi 120 cm, bulu berwarna antara lain keemasan, hitam dan putih. Kuda ini masih terdapat di Cirebon dan pegunungan Tengger di Jawa Timur.
Jenis-jenis kuda yang terdapat di Indonesia antara lain kuda Makassar, kuda Gorontalo dan Minahasa, kuda Sumba, kuda Sumbawa, kuda bima, kuda Flores, kuda Sabu, kuda Rote (kuda Kori), kuda Timor, kuda Sumatera, kuda Jawa, kuda Bali dan Lombok dan kuda Kuningan.
Kuda Sumba aslinya merupakan kuda pony dan kemudian diberi nama kuda Sandel atau lengkapnya kuda Sandelwood Pony. Kuda Sandel yang dikembangkan di Sumba merupakan kuda pacu asli Indonesia. Kuda Sumba merupakan hasil perkawinan silang kuda poni lokal (grading up) dan kuda arab. Nama “sandelwood” sendiri diambil dari nama cendana (sandalwood) yang pada masa lampau pernah menjadi komoditas unggulan dan diekspor daru Sumba dan pulau-pulau di Nusantara dan ke negara Asia lainnya seperti India dan lain-lain.
Populasi kuda Sumba sempat menurun menjelang pertengahan abad ke-20, akibat meluasnya penyakit antrax. Namun meningkat kembali ketika ada perbaikan mutu melalui perkawinan silang dengan kuda Australia. Perkawinan silang dengan kuda Australia ini bertujuan untuk perbaikan kecepatan dan meningkatkan daya tahan tubuh.
Saat ini populasi kuda di Sumba diperkirakan mencapai 50 ribuan ekor. Di Kabupaten Sumba Timur saja hasil sensus ternak yang dilakukan Dinas Peternakan Kabupaten Sumba Timur tahun 2008 lalu terdata sebanyak 28.804 ekor kuda (betina 18.958 ekor dan jantan 9.846 ekor). Melihat komposisi antara jantan dan betina tersbut, diperkirakan pertumbuhan populasi kuda di Sumba Timur akan terus meningkat. Populasi kuda di Sumba Timur tersebar hampir di seluruh kecamatan. Populasi terbanyak ada di Kecamatan Pahunga Lodu (3.425 ekor), Kecamatan Kahaunga Eti 3.000 ekor, Kanatanga 2.378 ekor, Tabundung 1.624 ekor, Pandawai 1.453 ekor, Pinupahar, Haharu, dan beberapa kecamatan lainnya 1.000 ekor lebih dengan total peternak sebanyak 8.087 orang.
Jaminan peningkatan populasi ini disampaikan Kepala Dinas Peternakan Kabupaten Sumba Timur, Ir. Robert Gana, beberapa waktu lalu. Robert mengatakan, populasi kuda terus meningkat dan pihaknya terus melakukan pengawasan secara ketat dan vaksinasi rutin.
Kuda sandel memiliki postur rendah bila dibandingkan kuda-kuda ras Australia atau Amerika. Tinggi punggung kuda antara 130 – 142 Cm. Banyak dipakai orang untuk kuda tarik, kuda tunggang dan bahkan kuda pacu. Keistimewaannya terletak pada kaki dan kukunya yang kuat dan leher besar. Kuda Sumba juga juga memiliki daya tahan yang istimewa. Warna bulu bervariasi, ada yang hitam, putih, merah, krem, abu-abu dan belang.
Kuda bagi orang Sumba, awalnya hanya digunakan sebagai alat transportasi. Namun seiring dengan perkembangan kehidupan orang Sumba, kuda tidak hanya sebagai alat transportasi tetapi juga dipakai sebagai mahar (belis), sebagai cendera mata untuk urusan adat seperti perdamaian dan untuk bawaan saat menghadiri upacara penguburan. Bahkan kuda bagi orang Sumba dianggap sebagai kendaraan leluhur.
PERALATAN DASAR BERKUDA YANG HARUS ANDA KETAHUI
15.12 |
Bagi anda para pemula dalam olah raga berkuda, peralatan dasar yang harus anda ketahui dan miliki sebagai perlengkapan wajib. Peralatan tersebut harus anda kontrol baik kelengkapannya maupun kualitasnya. Peralatan dasar itu terbagi dalam 2 hal:
1. Peralatan bagi si Penunggang
2. Peralatan bagi si Kuda
1. Peralatan Bagi Si Penunggang
Peralatan dasar bagi penunggang kuda terdiri atas peralatan keamanan dan pelindung diri antara lain: standard safety helmet (helm), sepatu tunggang/boot, pelindung dada (bila perlu), kaca mata (race). Serta Cemeti (pecut).
2. Peralatan Bagi Si Kuda:
Peralatan bagi si kuda terdiri atas Peralatan Punggung atau disebut pelana/saddle beserta perlengkapannya dan Peralatan Kepala atau disebut Head Bridle dan perlengkapannya.
Peralatan Punggung Kuda terdiri atas:
a. Pelana Kuda atau disebut "Saddle=English"
b. Alas Saddle atau dikenal dengan kata "Lebrak=Jawa", atau "Saddle Pad = English".
c. Sanggurdi atau dikenal dengan kata "Songgowedi=Jawa" atau "Stirrups = English"
d. Tali Sanggurdi atau dikenal dengan kata "Tali Ulur = Jawa" atau "Adjustable Stirrup Straps=English".
e. Amben atau dikenal dengan kata Tali Perut atau "Girth = English" terdiri atas Amben Luar dan Amben Dalam.
Sedangkan Peralatan Kepala terdiri atas:
a. Sarungan Kepala atau "Head Bridle=English" dengan berbagai variasi seperti dengan Nose-band dll.
b. Kendali besi atau dikenal dengan kata "Cakotan=Jawa" atau "Bite=English"
c. Tali Kekang atau dikenal dengan kata "Lis = Jawa" atau "Reins=English"
d. Martingal alat ini dipakai untuk membantu menggendalikan kuda. Ada vertikal martingal dan horizontal martingal.
e. Tali Tuntunan atau disebut "Lead Rope=English".
Peralatan-peralatan kuda tersebut dibuat khusus untuk kuda yang bersangkutan dan disesuaikan dengan ukuran kuda: tingggi kuda, ukuran lingkar kepala, lingkar rahang, lingkar perut, panjang leher dll. Peralatan Kuda juga dibuat tersendiri tergantung disiplin yang diambil seperti: Khusus untuk tunggang (equestrian), khusus pacuan (race) maupun untuk latihan (training) sehari-hari.
Pacuan Kuda Klasik mengharuskan peralatan berkuda terbuat dari bahan kulit asli, namun atas tuntutan jaman, pertimbangan harga, fleksibilitas dan kemudahan sekarang ini sebagian peralatan kuda telah dibuat dari bahan bahan sintetis seperti nylon, plastik dll.
Pelana Kuda atau Saddle adalah salah satu peralatan kuda yang paling banyak variasinya sesuai dengan disiplin olah raga berkuda yang ada. Ada Pelana Gaya Inggris atau disebut English Saddle. Pelana inilah yang paling sering dipakai untuk Tunggang, maupun Race. Ada juga Pelana Gaya Western atau dikenal dengan Western Style Saddle yang dipakai dalam olah raga berkuda gaya Western Cowboy atau Rodeo.
Pelana kuda Equestrian gaya Inggris juga terdiri atas berbagai model: Tunggang Long Range (Endurance), Dressage maupun Show Jumping. Design pelana disesuaikan dengan posisi kaki penunggang dan titik berat badan penunggang diatas punggung kuda. Para pembuat pelana/saddle memperhitungkan dengan cermat segi-segi keamanan dan kekuatan pelananya untuk disiplin olah raga berkuda yang dimaksud.
Selain itu ada olah raga berkuda jenis Bendi dan Polo yang di Indonesia belum populer. Peralatanya juga sedikit berbeda.
Untuk peralatan tunggang maupun pacu sudah banyak yang dapat dibuat sendiri didalam negeri dengan kualitas baik dengan harga yang terjangkau namun bagi penggemar barang import juga dapat memperolehnya meskipun relatif lebih sulit didapat, serta harga yang jauh lebih mahal. Barang-barang itu biasanya buatan Australia, Amerika maupun Inggris.
Mengenal Sakit Pada Tulang Punggung Kuda, dan Methoda Terapy Chiropractic SMT
15.10 |
Kita sering menemui kuda sakit pada tulang belakang. Hal ini sering terjadi pada kuda sport maupun kuda beban. Orang jawa menyebutnya sebagai penyakit "jingkeng" dimana kuda tidak dapat menggerakkan leher, tulang punggungnya kaku dan kadang sampai pada kaki dan lumpuh.
Biasanya problemnya bersumber pada tulang belakang pada daerah sekitar saddle dan kebelakang pada persendian didepan pelvis. Hal ini karena pergerakan punggung 70 % terjadi pada "lumbosacral junction" yaitu persendian (pertemuan) antara tulang "lumbar vertebrae" dengan tulang "sacrum" yang terletak persis didepan "croup"(Kevin Haussler). Kalau orang jawa menyebutnya bagian "cetik" atau "boyok",(Betul kah ?)
Effek daripada sakit punggung ini berakibat fatal. Banyak kuda menderita sakit seperti ini berakhir pada kelumpuhan dan kadang sampai pada kematian kalau tidak segera dilakukan teraphy.
Banyak cara dilakukan untuk menyembuhkan penyakit ini. Terapy pemijatan sering kita lihat dilakukan oleh para pendahulu kita. Bahkan dengan memberikan tekanan yang lebih berat dengan menginjak-injak punggung kuda dengan kaki kita dll. Barangkali di setiap pelosok negeri kita memiliki cara tersendiri dalam upaya menyembuhkan sakit "jingkeng" ini.
Pengobatan yang dilakukan yaitu dengan cara terapi pemijatan (chiropractic). Terdapat 2 cara yang dilakukan orang, yaitu dengan metoda Spinal Mobilization serta Spinal Manipulation (SMT).
Laporan hasil penelitian oleh Kevin Haussler DMV, DC Phd dari Colorado State University Facultas Kedokteran Hewan 2010, mengatakan bahwa dari 24 kuda-kuda sport yang secara rutin (tiap minggu sekali selama 3 minggu) dilakukan SMT menunjukkan bahwa kuda-kuda tersebut memiliki pergerakan punggung (spinal mobilization) yang lebih baik.
Spinal Mobilisation dilakukan dengan cara memberikan tekanan yang periodik (cyclic) dan berirama (rhythmic) berupa pemijatan dari bagian atas kebawah sepanjang tulang punggung. Sedangkan Spinal Manipulation dilakukan dengan cara memberi tekanan dengan kecepatan lebih tinggi dan kekuatan lebih rendah (high speed - low amplitude thrust.) Spinal Manipulation akan memberikan kelenturan lebih baik, meningkatkan performance dan mengurangi rasa sakit pada punggung kuda.
Kuda Sandelwood Datang dari Mana?
15.07 |
Pada zaman dahulu, kuda sering dipakai sebagai kendaraan perang oleh masyarakat Sumba. Pasola merupakan salah satu bukti kepiawaian pria Sumba menunggang kuda sambil berperang. Pasola juga merupakan ritual masyarakat penganut kepercayaan Merapu untuk meminta berkah para dewa agar panen berhasil baik.
Di Sumba Barat, ritual Pasola diadakan setiap tahun, antara bulan Februari dan Maret. Pasola merupakan atraksi adat dalam bentuk perang-perangan oleh dua kelompok berkuda beranggotakan sekitar 100 orang. Mereka saling berhadapan bersenjatakan tombak berujung tumpul.
Dalam satu dasawarsa terakhir tombak diganti dengan kayu yang dibuat seperti tombak. Terkadang ada korban jiwa dalam pasola. Namun tidak bisa diproses secara hukum. Masyarakat setempat percaya bahwa korban yang meninggal dunia dalam ritual itu sebagai hukuman para dewa kepada yang bersangkutan.
Kuda-kuda di Sumba hidup bebas di padang pengembalaan. Tak ada pagar yang membatasi ruang gerak mereka. Kecuali kuda pacu, yang dipelihara khusus. Harga kuda pacu bisa mencapai ratusan juta rupiah. Sumba, terutama Sumba Timur kemudian dikenal sebagai daerah penangkaran kuda pada abad ke-19 ketika Belanda mulai memperbaiki kualitas kuda sumba dengan cara mengawinkan kuda sumba dengan kuda arab. Kawin silang inilah yang menghasilkan kuda sumba yang dikembangkan masyarakat Sumba sampai saat ini.
Kuda sandel atau kuda sumba sampai sekarang masih merupakan jenis kuda dengan populasi terbesar di Pulau Sumba dan dikirim ke luar Pulau Sumba antara lain ke Sulawesi, Jawa, Madura, Bali, Jakarta bahkan ke Kalimantan untuk dipergunakan sebagai kuda tarik, kuda tunggang serta kuda pacu. Kuda Sandelwood terkenal karena kekuatan dan daya tahan yang tinggi. Kondisi alam yang tidak ramah itu telah membentuk kuda sumba sebagai salah satu jenis kuda dengan stamina yang kuat.
Daya tahan tubuh kuda sandel telah teruji secara nasional dan tercatat dalam Museum Rekor Indonesia (MURI) untuk kelas penunggang terlama dan terjauh bersama penunggang asal Lembang, Jawa Barat, Billy Mamola pada Agustus 2008 lalu di Lembang, Jawa Barat. Kuda Sumba mampu menempuh perjalanan 500 kilometer dari Lembang, Jawa Barat sampai ke Pangandaran, daerah perbatasan Jawa Barat dan Jawa Tengah.
Sebagai pencinta kuda, Billy Mamola mengaku menjatuhkan pilihan pada kuda sumba karena kuda sumba mempunyai kuku yang sangat kuat. Bily mengaku kagum dengan kuda sumba karena postur dan kukunya kuat. Kekuatan kuda sumba yang bertumpu pada kuku diperkirakan disebabkan kondisi alam Sumba yang tandus dan berbukit-bukit serta cara pemeliharaan yang dilakukan secara ekstensif atau dilepas bebas merumput di padang. Jenis makanan kuda Sumba dari rerumputan liar, kata Billy, diperkirakan ikut mempengaruhi kekuatan dan daya tahan kuda sumba.
Tentu saja ke depan, peningkatan kualitas kuda sumba tidak sepenuhnya diserahkan kepada alam. Perbaikan kualitas menjadi prioritas. Sayang, Pemerintah Daerah Sumba Timur secara khusus belum memiliki pusat pembibitan kuda suma yang memadai.
Bupati Sumba Timur, Drs. Gidion Mbilijora pernah mengungkapkan akan membangun pusat pembibitan kuda di daerah. Namun rencana itu tetap disesuaikan dengan kemampuan keuangan daerah. Saat ini pusat pembibitan kuda masih bergabung dengan sapi dan kerbau. Namun pusat-pusat pembibitan di masyarakat sebenarnya cukup banyak.
Salah satunya adalah pusat pembibitan milik Sukianto Untono. Bahkan kuda-kuda hasil penangkaran Sukianto sudah menembus pasar nasional dan pernah mencetak prestasi di tingkat nasional.
Meskipun telah mencetak prestasi secara nasional, perhatian dan dukungan pemerintah daerah untuk prestasi olah raga berkuda masih rendah. Hal itu pernah dikeluhkan Sukianto ketika kudanya mencetak prestasi di tingkat nasional beberapa waktu lalu. Selain untuk kejuaraan di tingkat nasional, orang sumba sendiri mempunyai tradisi pacuan kuda tradisional. Pacuan kuda tradisional ini dilakukan oleh para joki yang masih berusia belia.
Dalam pacuan kuda tradisional ini para joki tanpa dilengkapi pengaman. Demikian juga dengan kuda yang digunakan dalam pacuan tradisional tersebut. Orang jatuh dari kuda dalam acara tersebut sudah biasa. Namun tidak pernah ada yang meninggal dunia karena orang sumba memiliki tata cara penyembuhan secara tradisional. Para joki yang jatuh dari kuda hanya disirami air yang didoakan para imam Merapu dan sudah bisa bangkit dan kembali mengikuti perlombaan.
Bagi orang luar Sumba ini mungkin menakutkan dan mengerikan. Namun bagi orang sumba, di sinilah tempatnya menguji nyali. Tidak hanya penunggangnya tetapi juga kecepatan dan daya tahan kuda. Orang rela taruhan puluhan juta rupiah untuk kuda jagoannya. Karena itu, tidak heran jika pagelaran pacuan kuda juga menjadi surga bagi para penjudi.
Tidak hanya orang dewasa tetapi juga anak-anak sekolah berseragam putih merah, putih biru maupun putih abu. Itu sebabnya terkadang perlombaan pacuan kuda juga menjadi biang terjadinya konflik yang melibatkan massa dalam jumlah besar.
Lepas dari itu semua, peningkatan kualitas kuda sumba yang sudah menjadi ikon tanah Sumba harus menjadi perhatian semua pihak, terutama pemerintah daerah.
Di Sumba Barat, ritual Pasola diadakan setiap tahun, antara bulan Februari dan Maret. Pasola merupakan atraksi adat dalam bentuk perang-perangan oleh dua kelompok berkuda beranggotakan sekitar 100 orang. Mereka saling berhadapan bersenjatakan tombak berujung tumpul.
Dalam satu dasawarsa terakhir tombak diganti dengan kayu yang dibuat seperti tombak. Terkadang ada korban jiwa dalam pasola. Namun tidak bisa diproses secara hukum. Masyarakat setempat percaya bahwa korban yang meninggal dunia dalam ritual itu sebagai hukuman para dewa kepada yang bersangkutan.
Kuda-kuda di Sumba hidup bebas di padang pengembalaan. Tak ada pagar yang membatasi ruang gerak mereka. Kecuali kuda pacu, yang dipelihara khusus. Harga kuda pacu bisa mencapai ratusan juta rupiah. Sumba, terutama Sumba Timur kemudian dikenal sebagai daerah penangkaran kuda pada abad ke-19 ketika Belanda mulai memperbaiki kualitas kuda sumba dengan cara mengawinkan kuda sumba dengan kuda arab. Kawin silang inilah yang menghasilkan kuda sumba yang dikembangkan masyarakat Sumba sampai saat ini.
Kuda sandel atau kuda sumba sampai sekarang masih merupakan jenis kuda dengan populasi terbesar di Pulau Sumba dan dikirim ke luar Pulau Sumba antara lain ke Sulawesi, Jawa, Madura, Bali, Jakarta bahkan ke Kalimantan untuk dipergunakan sebagai kuda tarik, kuda tunggang serta kuda pacu. Kuda Sandelwood terkenal karena kekuatan dan daya tahan yang tinggi. Kondisi alam yang tidak ramah itu telah membentuk kuda sumba sebagai salah satu jenis kuda dengan stamina yang kuat.
Daya tahan tubuh kuda sandel telah teruji secara nasional dan tercatat dalam Museum Rekor Indonesia (MURI) untuk kelas penunggang terlama dan terjauh bersama penunggang asal Lembang, Jawa Barat, Billy Mamola pada Agustus 2008 lalu di Lembang, Jawa Barat. Kuda Sumba mampu menempuh perjalanan 500 kilometer dari Lembang, Jawa Barat sampai ke Pangandaran, daerah perbatasan Jawa Barat dan Jawa Tengah.
Sebagai pencinta kuda, Billy Mamola mengaku menjatuhkan pilihan pada kuda sumba karena kuda sumba mempunyai kuku yang sangat kuat. Bily mengaku kagum dengan kuda sumba karena postur dan kukunya kuat. Kekuatan kuda sumba yang bertumpu pada kuku diperkirakan disebabkan kondisi alam Sumba yang tandus dan berbukit-bukit serta cara pemeliharaan yang dilakukan secara ekstensif atau dilepas bebas merumput di padang. Jenis makanan kuda Sumba dari rerumputan liar, kata Billy, diperkirakan ikut mempengaruhi kekuatan dan daya tahan kuda sumba.
Tentu saja ke depan, peningkatan kualitas kuda sumba tidak sepenuhnya diserahkan kepada alam. Perbaikan kualitas menjadi prioritas. Sayang, Pemerintah Daerah Sumba Timur secara khusus belum memiliki pusat pembibitan kuda suma yang memadai.
Bupati Sumba Timur, Drs. Gidion Mbilijora pernah mengungkapkan akan membangun pusat pembibitan kuda di daerah. Namun rencana itu tetap disesuaikan dengan kemampuan keuangan daerah. Saat ini pusat pembibitan kuda masih bergabung dengan sapi dan kerbau. Namun pusat-pusat pembibitan di masyarakat sebenarnya cukup banyak.
Salah satunya adalah pusat pembibitan milik Sukianto Untono. Bahkan kuda-kuda hasil penangkaran Sukianto sudah menembus pasar nasional dan pernah mencetak prestasi di tingkat nasional.
Meskipun telah mencetak prestasi secara nasional, perhatian dan dukungan pemerintah daerah untuk prestasi olah raga berkuda masih rendah. Hal itu pernah dikeluhkan Sukianto ketika kudanya mencetak prestasi di tingkat nasional beberapa waktu lalu. Selain untuk kejuaraan di tingkat nasional, orang sumba sendiri mempunyai tradisi pacuan kuda tradisional. Pacuan kuda tradisional ini dilakukan oleh para joki yang masih berusia belia.
Dalam pacuan kuda tradisional ini para joki tanpa dilengkapi pengaman. Demikian juga dengan kuda yang digunakan dalam pacuan tradisional tersebut. Orang jatuh dari kuda dalam acara tersebut sudah biasa. Namun tidak pernah ada yang meninggal dunia karena orang sumba memiliki tata cara penyembuhan secara tradisional. Para joki yang jatuh dari kuda hanya disirami air yang didoakan para imam Merapu dan sudah bisa bangkit dan kembali mengikuti perlombaan.
Bagi orang luar Sumba ini mungkin menakutkan dan mengerikan. Namun bagi orang sumba, di sinilah tempatnya menguji nyali. Tidak hanya penunggangnya tetapi juga kecepatan dan daya tahan kuda. Orang rela taruhan puluhan juta rupiah untuk kuda jagoannya. Karena itu, tidak heran jika pagelaran pacuan kuda juga menjadi surga bagi para penjudi.
Tidak hanya orang dewasa tetapi juga anak-anak sekolah berseragam putih merah, putih biru maupun putih abu. Itu sebabnya terkadang perlombaan pacuan kuda juga menjadi biang terjadinya konflik yang melibatkan massa dalam jumlah besar.
Lepas dari itu semua, peningkatan kualitas kuda sumba yang sudah menjadi ikon tanah Sumba harus menjadi perhatian semua pihak, terutama pemerintah daerah.
Sejarah Kuda Sandelwood
15.03 |
Kuda Sandel, atau lebih lengkap kuda Sandalwood pony, adalah kuda pacu asli Indonesia yang dikembangkkan di Pulau Sumba. Konon kuda ini memiliki moyang kuda arab yang disilangkan dengan kuda poni lokal (grading up) untuk memperbaiki sejumlah penampilannya. Nama "sandalwood" sendiri dikaitkan dengan cendana ("sandalwood") yang pada masa lampau merupakan komoditas ekspor dari Pulau Sumba dan pulau-pulau Nusa Tenggara lainnya.
Menurut catatan J. de Roo pada tahun 1890, kuda telah menjadi komoditi perdagangan orang Sumba ke daerah lain di Nusantara paling tidak sejak 1840 melalui Waingapu yang kebanyakan dilakukan oleh bangsawan setempat.[1]. Populasinya sempat menurun menjelang pertengahan abad ke-20 akibat meluasnya penyakit dan juga persaingan dari ternak sapi ongole Sumba. Pada masa kini, perbaikan mutu dan penampilan kuda sandel telah menjadi program nasional, dilakukan melalui program pemuliaan murni dan grading up dengan persilangan terhadap kuda "thoroughbred" asal Australia untuk kecepatan dan tenaga.[2]
Kuda sandel memiliki postur rendah bila dibandingkan kuda-kuda ras dari Australia atau Amerika. Tinggi punggung kuda antara 130 - 142 Cm. Banyak dipakai orang untuk kuda tarik, kuda tunggang dan bahkan kuda pacu. Keistimewaannya terletak pada kaki dan kukunya yang kuat dan leher besar. Ia juga memiliki daya tahan (endurance) yang istimewa. Warna rambutnya bervariasi: hitam, putih, merah, dragem, hitam maid (brownish black), bopong (krem), abu-abu (dawuk), atau juga belang (plongko).
Kuda ini sampai sekarang masih merupakan kuda yang diternakkan di Pulau Sumba dan dikirim ke pulau-pulau lain seperti Jawa, Madura, dan Bali untuk dipergunakan sebagai kuda tarik, kuda tunggang serta kuda pacu. Lomba pacuan kuda Sandel masih bisa dinikmati di berbagai daerah di Indonesia terutama di Jawa, Madura, dan, tentu saja, Sumba.
Menurut catatan J. de Roo pada tahun 1890, kuda telah menjadi komoditi perdagangan orang Sumba ke daerah lain di Nusantara paling tidak sejak 1840 melalui Waingapu yang kebanyakan dilakukan oleh bangsawan setempat.[1]. Populasinya sempat menurun menjelang pertengahan abad ke-20 akibat meluasnya penyakit dan juga persaingan dari ternak sapi ongole Sumba. Pada masa kini, perbaikan mutu dan penampilan kuda sandel telah menjadi program nasional, dilakukan melalui program pemuliaan murni dan grading up dengan persilangan terhadap kuda "thoroughbred" asal Australia untuk kecepatan dan tenaga.[2]
Kuda sandel memiliki postur rendah bila dibandingkan kuda-kuda ras dari Australia atau Amerika. Tinggi punggung kuda antara 130 - 142 Cm. Banyak dipakai orang untuk kuda tarik, kuda tunggang dan bahkan kuda pacu. Keistimewaannya terletak pada kaki dan kukunya yang kuat dan leher besar. Ia juga memiliki daya tahan (endurance) yang istimewa. Warna rambutnya bervariasi: hitam, putih, merah, dragem, hitam maid (brownish black), bopong (krem), abu-abu (dawuk), atau juga belang (plongko).
Kuda ini sampai sekarang masih merupakan kuda yang diternakkan di Pulau Sumba dan dikirim ke pulau-pulau lain seperti Jawa, Madura, dan Bali untuk dipergunakan sebagai kuda tarik, kuda tunggang serta kuda pacu. Lomba pacuan kuda Sandel masih bisa dinikmati di berbagai daerah di Indonesia terutama di Jawa, Madura, dan, tentu saja, Sumba.
Langganan:
Postingan (Atom)